Lompat ke isi utama

Berita

KEPALA DESA, JABATAN SEKSI UNTUK PEMILU

KEPALA DESA, JABATAN SEKSI UNTUK PEMILU
Oleh: Ulin Nuha, SH., MH. (Anggota Bawaslu Kabupaten Demak)

Keberadaan kepala desa selalu menarik dalam percaturan politik di Indonesia, baik dalam kegiatan pemilu legislative, pemilu presiden ataupun pemilihan kepala daerah. Para politisi selalu menjadikan para kepala desa ini sebagai kelompok untuk mendulang suara (vote getter) karena posisi dan pengaruh mereka dalam masyarakat desa. Diakui atau tidak, para kepala desa punya pengaruh yang cukup signifikan untuk menggalang dukungan bagi politisi untuk meraih kursi kekuasaan.

Dalam pemilu 2019, posisi kepala desa cukup unik. Satu sisi mereka diberikan hak pilih, sisi lain mereka tidak diperkenankan terlibat dalam kegiatan kampanye termasuk tidak diperbolehkan menjadi bagian tim kampanye. Kepala desa harus netral karena mereka adalah bagian dari pemerintahan di tingkat desa, jika mereka diperbolehkan terlibat dalam kegiatan politik praktis dikhawatirkan mereka akan menyalahgunakan kekuasaannya.

Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 280 ayat (2) huruf h secara jelas menjelaskan bahwa “pelaksana dan/atau tim kampanye  dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan kepala desa. Sementara ayat (3) menjelaskan “setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu”. Sementara ancaman pidananya diatur dalam Pasal 493 “Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00  (dua belas juta rupiah)”.

Meskipun sudah ada peraturan yang mengatur bahwa kepala desa harus netral, fakta dilapangan berbicara sebaliknya. Bawaslu Kabupaten Demak mencatat setidaknya ada dua kejadian dalam pemilu 2019 yang melibatkan kepala desa.

Yang pertama adalah kasus perusakan alat peraga kampanye (APK) yangberada di Dukuh Menco diduga dilakukan oleh Kepala Desa Berahan Wetan Kecamatan Wedung Kabupaten Demak. Yang menarik dari kasus ini adalah kepala desa justru ingin agar desanya bebas dari kegiatan politik praktis, karena pemasangan gambar oleh para caleg dianggap rawan menimbulkan gesekan atau memanaskan suasana desa yang sudah adem dan damai. Upaya sang kepala desa dengan merusak APK yang dipasang oleh sang caleg agar membuat para tim sukses menjadi tenang justru tidak terjadi, malah sebaliknya tim sukses merasa dirugikan oleh tingkah polah sang kepala desa sehingga melaporkan persoalan ini ke Bawaslu Kabupaten Demak. 

Sementara kasus yang kedua adalah temuan adanya uang di balai desa Mulyorejo Kecamatan Demak yang diduga akan digunakan sebagai “money politic” dimana kepala desa sebagai pimpinan bertanggung jawab terhadap semua kegiatan di balai desa. Bawaslu melihat perkara ini, sang pelaku “dilindungi” karena begitu diketahui oleh Bawaslu. Pelaku tiba-tiba menghilang. Setelah 14 hari dan perkara ini dinyatakan kadaluarsa, pelaku kembali menampakkan diri. Seolah-olah ada pihak-pihak yang mengetahui kelemahan regulasi pemilu “membisikkan” kepada pelaku agar tidak terjerat dan bebas dari tuduhan.

Kedua perkara ini oleh Bawaslu kabupaten Demak telah dilakukan proses penanganan di sentra penegakan hukum terpadu (sentra Gakkumdu) bersama Kepolisian Resor Demak dan Kejaksaan Negeri Demak, tetapi karena tidak bisa memenuhi unsur secara lengkap, kasus ini tidak bisa ditindaklanjuti ke pengadilan. Bawaslu telah berusaha memenuhi unsur dalam pasal yang disangkakan agar perkara tersebut bisa ditindaklanjuti, tetapi nampaknya kepolisian dan kejaksaan kompak agar perkara tersebut tidak bergulir ke pengadilan demi sebuah alasan “kondusivitas” wilayah.

Bawaslu menyadari kelemahan dari regulasi yang ada, sebagai ikhtiar atas mandeknya perkara tersebut dari aspek pidana, maka Bawaslu mengalihkan perkara tersebut dari sisi administratif agar ada upaya jera utamanya dari kepala desa sehingga tidak main-main dalam menjalankan amanat yang diberikan oleh warganya.

Bawaslu mengirimkan rekomendasi kepada Bupati sebagai atasan kepala desa untuk memberikan teguran dan melakukan pembinaan kepada kepala desa tersebut.

Setiap kepala desa tidak boleh berpihak kepada para politisi yang sedang berkompetisi untuk meraih kursi kekuasaan. Demikian juga para politisi tidak boleh melibatkan mereka dalam kegiatan kampanye ataupun untuk mendapatkan dukungan massa di hari pemungutan suara dengna iming-iming politik uang. Kepala desa harus bebas intervensi dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Mereka tidak boleh terpengaruh untuk bersikap partisan dan tidak netral. Bawaslu tidak bisa sendirian untuk memastikan mereka tidak diintervensi, karena terbatasnya personil dan tenaga yang dimiliki oleh Bawaslu, sehingga masyarakt juga harus berperan aktif membantu tugas Bawaslu dalam proses penyadaran kepada kepala desa agar selalu bersikap netral.

*Disclaimer: Artikel ini merupakan salah satu dari kumpulan artikel di buku "Catatan dari Daerah" yang diterbitkan oleh Bawaslu Jawa Tengah Tahun 2020.

Tag
bawaslu demak
opini