Lompat ke isi utama

Berita

Problematika Daftar Pemilih dalam Pemilihan Umum

Oleh : Amin Wahyudi, S.Pd.I., M.S.I.
Anggota Bawaslu Kabupaten Demak

Pemilihan umum merupakan agenda rutin lima tahunan yang diselenggarakan oleh Negara Indonesia. Dari kegiatan rutin lima tahunan itu, terdapat satu tahapan yang hampir selalu menjadi perhatian utama penyelenggara, yaitu daftar pemilih. Daftar pemilih selalu diperbarui dengan jangka waktu kurang dari lima tahun, yakni pada saat penyelenggaraan pemilihan umum daftar pemilih disusun dan dicocokkan serta diteliti sampai dengan ditetapkan.

Kemudian pada agenda pemilihan kepala daerah, daftar pemilih kembali diperbarui sebagaimana saat pemilu. Saat daftar pemilih disusun permasalahan yang sama seringkali muncul dan tidak pernah kunjung selesai yaitu tidak akuratnya data pemilih tersebut. Bahkan permasalahan daftar pemilih juga sering kali diajukan sebagai dalil argumentasi peserta pada saat gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, daftar pemilih dimasukkan dalam Bab V dan dijelaskan secara rinci, karena daftar pemilih merupakan elemen penting dalam pelaksanaan pemilihan umum. Pasal 201 sampai dengan Pasal 220 mengatur khusus soal daftar pemilih. Pasal ini mengatur mulai dari asal usul disusunnya daftar pemilih sampai dengan ditetapkannya daftar pemilih tetap (DPT).

Asal usul daftar pemilih yaitu dari data kependudukan. Data ini disediakan oleh pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Selain itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) juga menyampaikan data kependudukan Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri kepada KPU. Data ini lalu disinkronkan bersama KPU menjadi data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4).

KPU kemudian menyandingkan DP4 dengan DPT penyelenggaraan pemilu terakhir. Hasil penyandingan dan sinkronisasi data penduduk potensial pemilih pemilu dengan daftar pemilih tetap paling mutakhir tersebut, dijadikan bahan untuk dilaksanakan pencocokan dan penelitian (coklit) oleh KPU.

Sinkronisasi dua data tersebut bukanlah perkara sepele, karena dipastikan dua data tersebut pasti akan berbeda. Mobilisasi penduduk menjadi faktor utama perbedaan dua data tersebut. Mutasi, mortalitas, dan natalitas penduduk bisa sangat cepat terjadi, tergantung situasi dan kondisi penduduk suatu wilayah. Data yang berasal dari kemendagri merupakan data yang tersusun melalui mekanisme administratif tersendiri, sedang daftar pemilih yang ditetapkan oleh KPU juga menggunakan mekanisme administratif sesuai dengan Peraturan KPU sendiri.

Misal, data kependudukan di disdukcapil (dinas pendudukan dan catatan sipil) akan tetap mencatat data seseorang yang sudah meninggal sebelum ada laporan dari pihak keluarga atau pemerintah desa setempat untuk menghapus data seseorang tersebut. Tetapi KPU akan menghapus data seseorang yang sudah meninggal berdasarkan penelitian dan pencocokan (coklit) oleh petugas dari KPU. Selain itu, disdukcapil akan menyampaikan data seseorang yang sudah berusia 17 tahun ke atas, walaupun belum melakukan perekaman e-KTP, sedang KPU hanya menulis seseorang yang berusia 17 tahun ke atas yang sudah melakukan perekaman e-KTP. Dari uraian tersebut sangat jelas bahwa dua data tersebut pasti berbeda.

Kesadaran masyarakat akan pentingnya data sangat diperlukan, sehingga harus aktif dalam menyampaikan data diri dan keluarga kepada dinas terkait. Seringkali yang terjadi pengurusan akta kematian hanya didasarkan oleh kaitan tertentu terhadap orang yang sudah meninggal, misal asuransi dan lainnya. Disdukcapil tidak akan menghapus data seseorang tanpa ada laporan atau dasar yang diperbolehkan oleh undang-undang.

Masyarakat seringkali beralasan tidak bersedia memohon akta kematian anggota keluarga tanpa ada kaitan urusan dengan asuransi, hutang piutang, harta warisan atau lainnya karena dianggap tidak gunanya dan membuang waktu. Selain itu, banyak juga yang beralasan pengajuan akta kematian sangat susah. Alasan tersebut merupakan bentuk bahwa masyarakat belum sadar akan pentingnya data, termasuk tidak ada kepedulian terhadap data pemilih dalam pemilu.

Rendahnya kesadaran masyarakat menjadi tugas bersama, mulai dari pemerintah (Pusat sampai dengan desa), KPU, Bawaslu dan lembaga swasta yang terkait dengan data kependudukan. Edukasi, sosialisasi dan penerapan kebijakan yang bersinergi menjadi salah satu solusi untuk mencapai data kependudukan yang baik dan valid. Migrasi penduduk harus diiringi dengan catatan administrative yang baik, agar data kependudukan menjadi baik. Untuk mendorong catatan adminisrasi baik, tentunya diperlukan proses yang mudah, valid dan cepat serta pelayanan yang santun, sehingga warga Negara tidak canggung dalam mengurus data diri dan keluarga.

Persoalan lain dalam penetapan daftar pemilih yaitu mobilisasi penduduk yang tidak bisa dibatasi oleh waktu, misal perpindahan penduduk antar kabupaten mendekati hari pemungutan suara. Perpindahan tersebut menjadi masalah tersendiri, sehingga KPU mengeluarkan kebijakan Daftar Pemilih Pindahan (DPPh), dan KPU hanya mensyaratkan jenis pemilih yang baru saja pindah hanya dengan menunjukkan e-KTP saja. Tetapi hal ini masih juga menjadi suatu persoalan tersendiri kaitannya dengan pencatatan berita acara rekapitulasi perolehan suara. Seringkali petugas KPPS kebingungan terhadap kasus semacam itu. Misal warga ber e-KTP Jawa barat, tetapi domisili di Jawa Tengah, ia berhak untuk memilih tetapi hanya pemilihan presiden dan wakil presiden, untuk DPR tidak diperbolehkan. Pemilihan anggota DPR berbasis daerah pemilihan, sehingga warga Jawa barat tidak bisa memilih calon anggota DPR Jawa Tengah.

Kesadaran bersama, baik dalam pengurusan data diri dan keluarga serta kebijakan lembaga dan pemahaman yang baik dari petugas yang dilapangan menjadi kunci menjawab persoalan daftar pemilih di negeri ini. Permasalahan tersebut tidak bisa hanya ditanggung oleh disdukcapil, KPU, Bawaslu saja, melainkan ini harus ditanggung bersama.

Persiapan Pemilu 2024

KPU sudah melakukan proses rekapitulasi Daftar Pemilih Berkelanjutan (DPB), tetapi KPU masih mewajibkan penghapusan data pemilih yang berstatus meninggal harus didasarkan kepada laporan dengan mengisi formulir yang sudah disediakan (SE KPU nomor Nomor: 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021). Formulir dimaksud masih membutuhkan surat keterangan kematian/bukti lainnya. Selain itu, daftar nya harus detail sampai kepada menuliskan NIK nya. Kalau yang melaporkan pihak keluarga sangat mungkin bisa menuliskan NIK yang meninggal, tetapi kalau orang lain, maka sangat sulit. Di satu sisi KPU dalam menyampaikan daftar pemilih tetap pada tahun 2020 menutup NIK daftar pemilih. Sehingga kemungkinan pelapor hanya keluarga atau orang dekat, padahal keluarga atau orang dekat masih berkabung dan ditambah kesadaran terhadap data masih lemah.

Menyikapi permasalahan tersebut, Bawaslu membuka posko aduan terhadap daftar pemilih berkelanjutan, baik dengan cara daring (memanfaatkan media sosial) maupun tatap muka. Bawaslu akan merekapitulasi data masukan dari masyarakat, dan menyampaikan data tersebut kepada KPU. Data ini bukan bagian dari rekomendasi, tetapi masukan terhadap KPU. Upaya untuk menciptakan daftar pemilih yang berkualitas harus dimulai dari sekarang, agar pemetaan terhadap masalah daftar pemilih bisa diidentifikasi dan dapat dipecahkan secara benar. Kualitas daftar pemilih menjadi bagian penting dalam proses pemilihan umum untuk menjaga hak politik warga dan hak asasi manusia.

Disclaimer : Artikel ini pernah terbit dalam Bulein Edisi ke-6 yang diterbitkan oleh Bawaslu Kabupaten Demak pada tahun 2022

Tag
bawaslu demak
opini