Lompat ke isi utama

Berita

Pembelajaran dari Sidang MK

Oleh : Rofiuddin (Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Jawa Tengah)

Proses sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa hari lalu mendapatkan perhatian publik secara luas. Melalui siaran langsung di berbagai stasiun televisi, banyak orang yang mengikuti proses persidangan tersebut. Ulasan dari berbagai pakar juga ikut jadi pembahasan. Ada banyak pembelajaran yang bisa dipetik dalam proses PHPU Pilpres kali ini.

Perselisihan hasil pemilu di MK adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Objek dalam perkara PHPU adalah keputusan termohon (KPU) tentang penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional yang mempengaruhi perolehan kursi maupun yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon presiden/wakil presiden.

Beda Pileg dan Pilpres

Dalam proses perselisihan ada dua jenis, yakni PHPU Pilpres dan PHPU DPR serta DPD. Kini, PHPU Pilpres sudah selesai. Selanjutnya sekitar Juli-Agustus ini MK akan menggelar proses persidangan PHPU untuk calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Calon Anggota DPD. Jika PHPU Pilpres hanya satu persidangan karena pemohonnya hanya satu, maka untuk PHPU Pileg dan DPD, proses persidangan sangat banyak. Data di MK menunjukan permohonan PHPU di MK sebanyak 339.

Namun, kita belum tahu dari jumlah itu, berapa permohonan yang akan berlanjut ke pemeriksaan persidangan. Sebab, bisa saja MK tidak melanjutkan permohonan ke pemeriksaan persidangan karena tidak memenuhi syarat. MK akan melakukan telaah terhadap permohonan. Jika tak memenuhi syarat maka permohonan itu tidak bisa menjadi perkara persidangan.

Dari sisi batas waktu persidangan, PHPU Pilpres paling lama hanya 14 hari sejak diterimanya permohonan keberatan. Waktu yang sangat singkat inilah yang sempat menjadi keberatan pemohon PHPU Pilpres. Sebab, ia dibebani membuktikan sedangkan waktunya sangat singkat. Sedangkan PHPU Pileg diputus MK dalam tenggang waktu paling lama 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi (BRPK).

Kini, setelah PHPU Pilpres selesai, publik akan menyaksikan proses persidangan PHPU untuk DPR dan DPD. Proses PHPU Pilpres bisa disebut selesai menyusul sudah adanya pembacaan putusan hakim MK yang dibacakan pada 27 Juni lalu. Sebanyak 9 hakim MK secara bergantian membacakan putusannya dengan tebal 1944 halaman. Putusan MK bersifat final dan mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti putusan MK.

Hakim MK telah mengeluarkan putusan yang pada intinya menolak seluruh dalil permohonan yang diajukan capres 02. Sebelum pembacaan putusan, proses persidangan harus melalui jalan berliku. Ada berbagai proses perdebatan antar pihak di persidangan MK.

Berbagai agenda juga digelar untuk membedah dalil permohonan. Mulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang disertai dengan perdebatan boleh tidaknya ada berkas perbaikan dalam dalil permohonan. Sebab, dalam undang-undang dan Peraturan Mahkamah Konstitusi, PHPU Pilpres tidak ada ketentuan hal ihwal perbaikan berkas permohonan.

Hal ini berbeda dengan PHPU DPR dan DPD yang secara khusus ada ketentuannya, yakni: dalam hal pengajuan permohoanan kurang lengkap maka pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu.

Untuk polemik perbaikan PHPU Pilpres, hakim MK bersikap memperbolehkan adanya berkas perbaikan dalil permohonan. Buktinya, hakim MK mempersilahkan pemohon membacakan dalil permohonan versi perbaikan. Padahal, dari sisi isi dalil permohonan, banyak sekali perbedaan antara dalil permohonan awal dan dalil permohonan perbaikan.

Begitu juga untuk jawaban termohon, jawaban pihak terkait dan keterangan Bawaslu, hakim MK mempersilahkan mereka untuk menjawab sesuai dengan keyakinannya. Belakangan diketahui pihak-pihak tersebut juga menjawab dalil permohonan yang versi perbaikan. Meski, sekali lagi, hal ihwal perbaikan dalil permohonan ini tidak ada pengaturan di ketentuan.

Selanjutnya, usai sidang pemeriksaan pendahuluan, beberapa hari berikutnya dilanjutkan dengan agenda sidang berupa jawaban pihak termohon (KPU), pihak terkait (capres 01) serta pemberian keterangan dari Bawaslu. Termohon dan pihak terkait menyampaikan bantahan-bantahan untuk menjawab dalil permohonan yang diajukan pemohon capres 02.

Adapun Bawaslu berposisi sebagai pemberi keterangan. Bawaslu tidak dalam posisi membantah atau mengiyakan dalil permohonan. Bawaslu menyampaikan fakta dan data-data sesuai dengan hasil pengawasan dan penindakan yang sudah dilakukan. Belakangan diketahui, hakim MK banyak sekali merujuk pada keterangan yang disampaikan Bawaslu. Baik keterangan yang tertulis maupun lisan.

Proses yang cukup ramai dalam PHPU Pilpres adalah sidang lanjutan dengan agenda pembuktian. Dalam proses inilah, dalil-dalil permohonan yang diajukan capres 02 didedah. Prosesnya, mereka menghadirkan saksi dan ahli. Hal ihwal berapa saksi dan ahli yang diajukan pemohon juga menjadi perdebatan. Semula pemohon akan mengajukan saksi hingga 30 orang. Tapi hakim MK membatasi jumlah saksi dan ahli yang diajukan pemohon. Mahkamah mendasarkan pada pasal 41 Peraturan MK Nomor 4 tahun 2018 yang menyebut bahwa Mahkamah dapat membatasi jumlah saksi dan ahli yang diajukan oleh pemohon, termohon dan pihak terkait.

Setelah pemeriksaan saksi dan ahli dari pemohon, dilanjutkan dengan saksi dan ahli dari pihak termohon dan pihak terkait. Berbagai dialog di pembuktian ini menjadi tontotan yang menarik. Sebab, antar berbagai pihak itu saling menyampaikan pertanyaan untuk dijawab saksi dan ahli. Tak terhitung banyak sekali perdebatan yang mengemuka.

Persidangan PHPU yang digelar secara terbuka dan diliput media secara luas memberikan banyak pembelajaran kepada publik. Meski tak ikut ke ruang sidang, masyarakat awam bisa dengan mudah mengikuti proses perdebatan antar pihak. Bahkan, pada saat para pihak menghadirkan ahli masing-masing, kita juga bisa mendapatkan banyak informasi dan ilmu pengetahuan. Para ahli itu juga membedah berbagai problematika kepemiluan. Di titik inilah kemudian ada yang berpendapat bahwa masih ada kelemahan-kelemahan dalam regulasi, terutama UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. sehingga ke depan harus disempurnakan.

Hal lain yang cukup mengembirakan dalam proses PHPU Pilpres terkait dengan panasnya perdebatan di dalam persidangan tidak sampai dibawa ke luar sidang. Kita tahu, antar pihak itu bisa saling berbeda dalam berpendapat dan bersikap dalam sidang. Namun antar pihak itu bisa saling menghargai perbedaan. Terakhir, diakui atau tidak, putusan MK tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Bisa saja ada kelompok yang kecewa dengan putusan MK itu. Tapi, kita patut bersyukur karena kekecewaan itu tidak diwujudkan dengan tindakan-tindakan yang keluar dari rel peraturan perundang-undangan. Inilah perkembangan positif dari demokrasi di Indonesia.

Sumber : SuaraMerdeka Cetak, 2 Juli 2019

Tag
bawaslu demak
bawaslu jawa tengah
berita