Lompat ke isi utama

Berita

Kaleidoskop Pesta Demokrasi: Masyarakat Ingin Kurusnya tapi Ogah Dietnya

Oleh: Muhammad Azam Multazam

Pemilihan umum merupakan sebuah mekanisme negara demokrasi. Kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, rakyat mempunyai hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Hal ini, bagi rakyat Indonesia menyebutnya pesta demokrasi.

Dalam ajang pesta demokrasi, rakyat pastinya mengharapkan suasana yang damai dan tertib, menghasilkan udara yang segar bagi pikiran dan hati. Itulah definisi pesta, terlebih bagi kata pesta demokrasi. Yang namanya pesta, bukan malah dibikin suasana jadi kontradiktif, ribut, saling caci maki, apalagi sampai benci membenci.

Dalam pemilihan umum 2019 ini diramaikan oleh segenap peserta pemilu, baik dari parpol, politisi, tim kampanye berbaur bersatu. Mereka bersatu padu dengan visi misi masing-masing.

Masyarakat Indonesia antusias menyambut kontestasi politik pada pemilihan umum 2019. Masyarakat siap memberikan hak pilihnya pada pasangan capres dan cawapres, caleg DPR, DPD, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten yang menurutnya cocok untuk mengisi pemerintahan.

Di sisi lain, para penyelenggara pemilu 2019 sibuk mempersiapkan tugas masing-masing. Tujuan penyelenggara pemilu 2019 adalah mewujudkan pemilu yang berintegritas, akuntable, serta friendliable.

Penyelenggara pemilu bekerja keras, merancang konsep tugas-tugasnya. Termasuk dengan Bawaslu. Bawaslu merupakan penyelenggara pemilu yang bertugas dalam pengawasan, penanganan pelanggaran pemilu. Dalam hal ini, Bawaslu berharap pemilu 2019 berjalan dengan damai, jujur dan adil. Sehingga pemilu 2019 menghasilkan minimnya pelanggaran pemilu dan pemimpin-pemimpin yang berintegritas tinggi.

17 April 2019 kemarin merupakan puncaknya pesta demokrasi. Kita Warga Negara Indonesia (tentu yang dimaksud adalah yang sudah mempunyai hak pilih) berbondong-bondong menuju ke TPS, memilih calon pemimpin. Pemilu kali ini memang berbeda dengan sebelumnya, pemilu 2019 ini dilakukan pemilihan serentak. Kita diberikan hak untuk memilih pasangan calon presiden dan wakilnya, caleg DPR, DPD, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten.

Oh iya, selamat buat Kita yang kemarin sudah ikut berpartisipasi, menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 2019. Foto selfienya dengan celupan tinta di jarinya masih tidak? Tunjukin dong kalau masih ada...

Sebelum menuju puncaknya, pemilu 2019 memiliki perjalanan yang panjang, yang terdiri dari beberapa tahapan. Dari beberapa tahapan itu, yang paling ramai perjalanannya adalah tahapan kampanye. Dalam tahapan ini, semua calon baik calon legislatif maupun calon presiden dan wakilnya diberikan kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya berikut visi dan misi kepada masyarakat.

Dalam tahapan kampanye, para calon pemimpin berlomba-lomba untuk meningkatkan brand image masing-masing calon. Dalam rangka meningkatkan brand nya masing-masing, tentunya strategi pemasarannya berbeda-beda. Berkampanye dengan tujuan untuk menarik hati para calon customer, yang tak lain adalah masyarakat yang memiliki hak pilih.

Masyarakat disuguhi penampakan gambar para calon pemimpin dalam bentuk baliho, spanduk, maupun MMT yang tertempel dimana-mana. Berisi foto para calon pemimpin yang berwibawa berikut karakter atau visi misinya: Adil, jujur, bersih, siap mendengarkan aspirasi warga. Menjadi makanan tiap hari bagi masyarakat yang melihatnya. Kalau dibuat lagu dengan menirukan lirik lagu anak-anak, kira-kira seperti ini bunyinya: “kiri, kanan kulihat saja banyak foto calegnya...”

Dalam pertarungan politik 2019, masing-masing calon pemimpin dibantu oleh tim sukses, relawan, juga konsultan. Melalui konsultannya, ditunjukkan peta marketing untuk meningkatkan branding nya. Dalam hal ini, mereka (yang saya maksud tentunya adalah para calon pemimpin) melakukan kampanye umum dan pertemuan terbatas dengan masyarakat. Tentunya berbeda-beda cara. Ada yang blusukan ke pasar, menemui emak-emak berbelanja dan berjualan. Ada juga yang melakukan pertemuan dengan para nelayan, petani, buruh. Ada juga yang dengan menghadiri pengajian dengan cuma mesam-mesem menyapa, menyalami para hadirin. Itu semua dilakukan untuk menarik hati calon customer.

Kita bisa menyaksikan dari berbagai macam strategi kampanye tentunya sangat variatif. Sejalan dengan eranya, dimana Kita telah memasuki era digitalisasi. Dan ini sangat bermanfaat besar dalam melakukan kampanye di media online. Dan yang paling menarik untuk Kita saksikan adalah perjalanan kampanye oleh partai politik yang berorientasi dengan keIslaman dan mengangkat sentimen Islam. Dalam Peta market dengan demikian diprediksi akan berpeluang besar, sebab dimana penduduknya adalah beragama Islam. Dengan begitu, akan sangat membantu untuk menggaet calon customer bagi calon pemimpin yang dimotori oleh partai politik yang berkarakter Islam dan calon pemimpin dari tokoh agama.

Namun, meskipun dalam wilayah yang didominasi oleh penduduk beragama Islam, tidak menutup peluang bagi calon pemimpin yang dimotori oleh partai politik yang tidak berorientasi agama. Mereka tetap berkompetisi dalam kampanye dengan strategi yang menurutnya paling efektif bagi masyarakat.

Dengan begitu, kondisi pasar politik pada pemilu 2019, khususnya pada saat masa-masa kampanye akan berjalan dengan aman dan damai, tidak ada yang menjadikan agama untuk kendaraan politik praktis. Masyarakat tentunya mengaharapkan situasi adem, ayem. Para peserta pemilu 2019 disibukkan dengan program dan visi misi masing-masing. Target peta market politik tidak ada yang saling tabrakan.

Kita perlu ketahui, kondisi brand image semua calon di mata masyarakat itu tergantung pada salesman yang berandil dalam proses marketing saat kampanye. Salesman itu bisa terdiri dari tim sukses dan relawan. Andaikan para salesman dari masing-masing calon menerapkan kaidah kemaslahatan, “Dar’ul mafaashid aula min jalbil mashaalih” yang artinya menghilangkan kemadharatan (bahaya) itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan. Maka akan menghasilkan keadaan adem, ayem, tentrem dalam kehidupan masyarakat. Sehingga politic effect yang dirasakan bagi masyarakat adalah  kemaslahatan warga. Inilah yang perlu diperhatikan saat akan berkampanye.

Namun secara riil, Kita masih menyaksikan adanya black campaign yang dilakukan oleh calon-calon pemimpin, pasangan capres maupun legislatif atau para pendukungnya. Para calon-calon pemimpin yang pragmatif ini lah yang menjadikan arena kampanye menjadi kontradiktif. Melalui segenap tim kampanyenya, mereka menyebarkan doktrin kepada masyarakat (biasanya adalah masyarakat menengah ke bawah) secara persuasif, menarik. Layaknya Dilan merayu Milea. Namun, sejalan dengan itu mereka juga membeberkan hal-hal yang negatif (yang belum tentu kebenarannya) tentang lawannya. Dari sinilah akan berpeluang besar melahirkan benih-benih fanatisme dalam pendukung.

Perlu diketahui, lahirnya fanatisme adalah menjadi faktor terjadinya pembelahan masyarakat dalam kehidupan. Sebab ketika fanatisme menguat, maka kemungkinan besar seseorang akan menciptakan imajinasi kotor untuk berbuat sesuatu. Fanatisme akan menutup otak Kita berpikir secara rasional. Maka, tak heran ketika pendukung yang fanatik dari salah satu calon menjatuhkan lawan dengan menyebar berita hoax, umpatan yang dibumbui aroma kebencian.

Di era digital ini, Kita masih bisa melihat fenomena di sosial media betapa banyaknya dan begitu cepatnya berita hoax disebar oleh fake account maupun real account antar-pendukung yang saling melempar umpatan, dengan mengklaim kebenaran. Dengan sikap fanatik, seseorang akan bersikap eksklusif. Dan bukan hal yang mustahil, eksklusifisme akan bersikap merasa paling benar.

Dari fenomena tak sedap di masa-masa kampanye seperti itu, kok jadi teringat cerita masa-masa SMA dulu.

Gini, waktu itu saya duduk di kelas 2 SMA. Masa-masa yang manis, dimana waktu itu sudah mulai mengerti tentang perasaan ke lawan jenis, namun belum ada nyali untuk mengungkapkannya. Sekelas, cuma ada 4 anak yang sudah berani mengungkapkan cintanya. Salah satunya adalah Udin. Dia berpacaran dengan anak IPS, Udin sendiri anak IPA.

Waktu itu, Udin sedang ngobrol di ruang kelas 2 IPA dengan pacarnya, sebut saja namanya Intan. Obrolan ngalor-ngidul dilalui, terdengar Intan sedang bertanya pada Udin, “Sayang, bunga apa yang paling harum?”

Udin yang mempunyai nama lengkap Jamaludin, anak yang mempunyai rambut kriting itu menjawab dengan senyuman yang merekah, terlihat lesung pipinya dihadapan sang kekasihnya, Intan. “Melati, Sayaaang.”

Melihat jawaban Udin, mimik wajah Intan terlihat seperti orang mewek, dan Intan menyalahkan jawaban kekasihnya. “salah, sayang. Bunga yang paling harum itu mawar.”

Melihat kekasihnya menyalahkan atas jawabannya, Udin kaget. Kepalanya didongak ke atas, seperti orang mikir. Ia memang lagi mikir, mencari ide. Mungkin daya mau protes atas sikap kekasihnya yang menyalahkan jawabannya.

Udin lalu mengernyitkan dahi. Wajah merasa bersalah sudah terlihat jelas. Yang pasti dia menjawab tidak asal. Persepsi Udin, bunga melati lebih harum daripada mawar ataupun bunga harum lainnya seperti kenanga, kamboja. Namun, Udin hanya pasrah. Tidak protes sedikitpun.

Udin menyadari, jika ia bantah, Intan akan ngeyel. Lantas akan menimbulkan perdebatan. Ia takut hubungannya retak cuma gara-gara hal sepele. Prinsip bersikap tasamuh (toleran) ia aplikasikan. Sebab, andai Udin ngeyel, tidak terima karena disalahkan Intan, mungkin akan timbul pertengkaran, yang bisa jadi kisah asmaranya kandas.

Kembali ke laptop, pemirsa. Diminum dulu es tehnya.

Pendukung calon pemimpin yang bersikap seperti Intan jelas akan melahirkan produk ekstremisme. Sikap yang akan tidak memberikan atau menutup ruang peluang bagi perspektif yang beda dengan diri atau golongannya. Dalam pemandangannya, di kehidupan yang ada hanyalah warna putih, atau hitam. Padahal, masih ada warna merah, biru, kuning, dll. Inilah yang akan jadi pemicu memanasnya arena pesta demokrasi. Dan yang paling dibutuhkan adalah sikap tasamuh (toleran).

Dalam pasar politik, khususnya yang digelar di 17 April 2019 kemarin, masih dikategorikan situasi darurat toleran bagi para politisi, tim kampanye berikut pendukungnya. Maka, sosok seperti Udin ini sangat dibutuhkan dalam menyambut pesta demokrasi, khususnya saat masa-masa kampanye. Masyarakat perlu melahirkan Udin-Udin sebanyak-banyaknya.

Sikap toleran atau menghargai perbedaan dalam hal dukung-mendukung calon pemimpin, kita bisa analogikan dengan istri atau suami yang kita miliki. Kita posisikan istri kita sebagai calon pemimpin yang kita dukung. Kita pasti memuja-memuji kecantikan istri kita, lantas apa harus kita menjelek-jelekan istri tetangga dengan tolak ukur istri kita? Wah, kalau tahu suaminya, bakal berantem. Membahayakan bukan? Begitupun dengan calon pemimpin yang kita dukung.

Boleh lah kita memuja-memuji calon pemimpin yang kita dukung. Tapi, bukan berarti kita harus dengan menjelek-jelekkan lawan-lawannya. Maka, inilah pentingnya prinsip menghargai perbedaan.

Namun kita masih disuguhi pemandangan bagaimana situasi pasar politik pada masa-masa kampanye di wilayah-wilayah besar. Tim kampanye beserta relawan sibuk berkompetisi untuk menggaet dukungan masyarakat. Begitu dukungan sudah digaet, antar pendukung malah saling mencaci maki, ujaran kebencian tak luput disasarkan ke pendukung lawan. Buzzer pun juga tak kalah dalam aksinya di sosial media. Begitulah kondisi jagat medsos dalam menyambut pesta demokrasi 2019. Ini memang sangat disayangkan. Namun memang begitu adanya. Adanya memang begitu. Begitu memang adanya.

Yang paling bikin kepala geleng-geleng adalah banyaknya peserta politik berikut tim kampanyenya mengangkat sentimentil keagamaan dalam materi kampanye dan melemahkan tim lawan dengan cara yang tak layak. Ini justru tidak mencerminkan dalam beragama. Tak perlu kaget, Anda pasti sudah tahu sendiri. Iya, kan sudah tahu?

Contoh saja partai politik yang berorientasi Islam menggunakan strategi marketing dalam berkampanye dengan mengangkat sentimen Islam berhasil menarik hati calon customer itu sudah biasa.Dan merupakan peluang bagi mereka untuk memperluas jaringan dalam peta politiknya. Sebab, berada di wilayah yang didominasi oleh masyarakat beragama Islam. Dengan demikian, strategi ini akan mampu meningkatkan brand image untuk manggaet customer yang akan membantu peningkatan brand dengan efektif. Ini merupakan peluang yang sangat besar. Namun yang sangat disayangkan adalah bila dari mereka mengangkat nama Islam, namun melakukan hal yang tidak mencerminkan Islam itu sendiri yang bertujuan untuk melemahkan elektabilitas lawan. Ini akan melahirkan kondisi yang kontradiktif.

Lebih globalnya, kondisi memanasnya pertarungan di pasar politik masa-masa kampanye dalam pemilu 2019 adalah meningkatnya sentimentil Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) dalam materi kampanye. Atau lebih kerennya dengan sebutan politik identitas.

Politik identitas memang dijadikan sebagai salah satu mesin suara. Bagi para calon pemimpin berikut tim kampanyenya mengeksploitasi SARA dijadikan pendongkrak ekstabilitas atau menurunkan popularitas calon pemimpin. Kita bisa menyaksikan dalam strategi ini yang dipikirkan oleh mereka hanya kemenangan, kemenangan dan kemenangan.

Dalam strategi ini, memungkinkan timbulnya propaganda “bahwa dia adalah kelompok anu” atau “wah, dia akan memikirkan kelompok tertentu”. Atau kita bisa bercermin pada pilkada DKI Jakarta 2017. Strategi politik identitas mungkin lebih menyerang brand image lawan. Maka, tidak mustahil jika ini akan menyebabkan perpecahan dalam kehidupan masyarakat.

Sangat disayangkan dengan masih banyaknya eksploitasi SARA diangkat dalam kampanye. Sebab, ini akan menjadikan masyarakat terkotak-kotak. Padahal sudah jelas ada larangan tentang eksploitasi SARA yang menjadi pemicu hasut-menghasut antar pendukung. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 280 ayat (1) huruf c telah disebutkan: “(1) Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: ...... (c) menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan atau peserta pemilu yang lain.”

Saya kembali ingat Si Udin lagi. Disinilah pentingnya peran toleransi dalam menghadapi pesta demokrasi. Jika kita semua bisa bersikap tasamuh (toleran), maka akan melahirkan jiwa tawasuth (tidak ekstrim). Dengan demikian, kondisi perjalanan pemilu 2019 akan berjalan dengan lancar, damai. Pesta demokrasi akan baik-baik saja.

Sebentar. Sekali lagi, boleh dong tunjukkan foto selfie nya yang dengan celupan tinta di jari....

Kita sebagai masyarakat tentunya mengharapkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas dan kompeten yang bisa membawa perubahan dan menuju kemajuan bagi kita. Sesuai dengan visi misi yang terpampang di spanduk saat berkampanye: jujur, amanah, bersih, tidak korupsi, mendengarkan aspirasi rakyat.

Kita sebagai masyarakat memang menumpuk harapan yang lebih baik buat kesejahteraan di bawah pemimpin-pemimpin yang terpilih. Harapan masyarakat menginginkan harapannya tercapai, bukan ter-PHP oleh para pemimpin. Sebab, yang sering terjadi adalah setelah dilantik, menjalankan pemerintahan, pada lain waktu tiba-tiba pemimpin tersebut ketangkap karena korupsi.

Duh, semua kecewa. Ter-PHP.

Lalu setelah masyarakat kecewa, ingin ganti pemimpin lagi. Lalu digelar pemilu lagi. Lalu si pemimpin yang terpilih tertangkap korupsi lagi. Lalu masyarakat kecewa lagi. Begitu terus sampai upin ipin pakai seragam SMA.

Melihat siklus yang semrawut gitu, kita sebagai masyarakat harus keluar dari lingkaran horor tersebut. Kemungkinan yang tidak beres dari selama perjalanan pemilu. Entah itu dari para elite politik ataupun dari kita sebagai masyarakat. Ya, minimal dari diri kita ini mulai bermuhasabah diri, berbenah.

Secara substantif, pesta demokrasi memang membutuhkan dana besar, khususnya bagi calon-calon pemimpin yang ikut berkompetisi di dalamnya. Dana besar yang sudah digelontorkan mulai dari fase pendaftaran sampai selesai. Khususnya di masa-masa kampanye.

Coba dihitung sendiri, berapa biaya yang dikeluarkan untuk bikin ribuan bendera, ratusan spanduk, baliho, MMT, kaos, serta stiker. Dan, biaya untuk beberapa kali rapat tim pemenangan, berapa ekor ayam, kambing yang disembelih buat makan bersama tim pemenangan. Belum lagi biaya untuk segala macam kebutuhan saat kampanye. Itu belum lagi honor buat konsultan politiknya. Itu semua sudah tergelontor biaya yang banyak. Banyak sekali. Dan belum lagi biaya amplop kasih sayang buat para pendukungnya.

Secara ideal, pesta demokrasi adalah sebuah mekanisme pemilihan yang digelar secara terbuka untuk memilih calon-calon pemimpin yang ikut berkompetisi dalam kontestasi politik dengan melihat visi misi dari masing-masing calon dan untuk menjawab persoalan publik. Namun dengan kenyataan yang ada, faktor keterpilihan calon pemimpin dalam kontestasi politik tidak lagi berdasarkan asas ideal, masyarakat bukan lagi memilih dengan melihat aspek visi misi masing-masing calon, melainkan sebab adanya faktor lain. Salah satunya adalah adanya amplop kasih sayang.

Amplop kasih sayang atau bisa disebut dengan politik uang adalah strategi yang diandalkan oleh calon-calon pemimpin yang pragmatis untuk meraup suara banyak. Selain politik identitas, politik uang dinilai sebagai cara mudah untuk mempengaruhi masyarakat.

Dalam hal ini, para calon-calon pemimpin tentunya sangat membutuhkan suara, sedang di sisi lain dalam masyarakat pemilih cenderung menjadikan pesta demokrasi adalah peluang untuk mendapatkan materi. Maka dari itu, strategi politik uang memang susah-susah mudah dibuat prediksi untuk dukungan suara. Sebab, masyarakat pastinya mendapatkan amplop dari calon yang lainnya juga. Dengan begitu, menjadi sebuah kemungkinan penawaran paling tinggi tentu akan jadi pilihan.

Dengan begitu, para elite politisi mimbidik masyarakat menengah ke bawah untuk jadi sasaran dalam peta marketnya dalam rangka meraup suara pendukung. Sebab, kemungkinan besar masyarakat akan mudah goyah, dan lebih sulit mengikat masyarakat menengah ke bawah secara ideologis.

Setelah para pemimpin terpilih dilantik. Bekerja seperti biasanya. Selang beberapa waktu, tiba-tiba pemimpin yang dulunya didukung ternyata ketangkap kasus korupsi. Semuanya kecewa.  Terutama pendukung yang sering muja-muji. Didukung dengan mati-matian, dibelain berantem sama teman di kolom komentar facebook. Eh, kok malah ketahuan korupsi. Sangat mengecewakan.

Kembali lagi ke biaya banyak yang telah digelontorkan oleh pemimpin yang terpilih dan ternyata ketahuan korupsi. Mereka sudah mengeluarkan banyak uang dalam masa pencalonannya. Belum lagi bagi-bagi amplop kasih sayang atau politik uang kepada segenap pendukungnya. Habis berapa? Banyak. Coba kalkulasikan sendiri.

Belum lagi syukuran yang digelar di kampungnya setelah terpilih menjadi pemimpin. Habis biaya banyak pokoknya. Belum lagi saku sekolah anaknya, setelah tahu orang tuanya jadi pemimpin, kini uang saku mengalami inflasi. Sehari mungkin nyampai 100 ribu. Dalam sosial? Contoh saja ngasih sumbangan anak tetangga yang lagi sunatan. Tentu seorang pemimpin, duduk di kursi DPR tidak mungkin datang ngasih sumbangan 50 ribu. Buat seorang DPR bisa saja sampai 500 ribu disumbangkan ke anak tetangga yang dikhitan.

Bayangkan, padahal, honor seorang pemimpin yang duduk di kursi DPR tidak lebih dari 6 juta rupiah per bulannya. Ditambah lagi tunjangan-tunjangan lainnya memang banyak berlipat-lipat, katakanlah 25 juta rupiah perbulannya. Dikalkulasikan, penghasilan dalam setahun total 300 juta rupiah. Jadi, dalam 1 periode kepemimpinannya, penghasilannya sampai 1,2 miliar. Padahal, yang jadi masalah adalah selama semasa pencalonannya dari awal sampai akhir menghabiskan dana mungkin sampai 2 Miliar, 3 miliar. Inilah mungkin titik awal permasalahannya.

Mungkin ada yang menyangkal, yang didukung dulu tidak mungkin punya dana sampai segitu totalnya, sebab dia itu seorang guru, pedagang, atau bla..bla.. bla..

Perlu diketahui, semakin tipisnya dana dari seorang calon yang kredibilitasnya tinggi, maka itu merupakan peluang bagi para investor. Para Miliader, saudagar kaya akan berebutan jadi investor. Para investor akan titip modal, jika yang didukung menang, si investor akan dapat kembalian modalnya berlipat-lipat, mungkin saja melalui bentuk proyek.

Dari sinilah pintu untuk berbuat korup sedang menggoyah. Bagi pemimpin yang bersikap pragmatis, akan berpikir tentang modal semasa pencalonannya sudah mengeluarkan dana besar. Ditambah lagi setan dari segala arah merayu dengan lembut untuk berbuat korup. “hey, fulan.. Kamu semasa pencalonan kan sudah menguarkan dana besar. Uangmu sudah kamu bagi-bagikan ke pendukungmu dan buat segala macam, ini saatnya kamu ambil untung. Sikat duit rakyat melalui anggaran dalam proyekmu..” begitulah kira-kira bisikannya. Begitu dirasa benar kata-kata dalam bisikan, dilakukanlah sesuai apa yang ada dalam benaknya.

Begitu saking enaknya dalam berbuat korup, yang ada dipikirannya hanyalah untung, untung, dan untung. Dan, tiba-tiba ia tertangkap KPK karena ketahuan korupsi. Media-media ramai memberitakannya. Berbagai komentar masyarakat mewarnai di media-media online. Bagi pendukungnya berkomentar, “Ah, ga mungkin. Ini pasti jadi korban terdzalimi oleh rezim.” Mastarakat awam pun ikut berkomentar, “ternyata itu yang saya coblos dulu.. Astaghfirullah, nyesel deh nerima amplopnya.”

Begitulah para masyarakat yang belum tahu perjalanannya semasa duduk di kursi pemerintahan. Padahal, di Indonesia di akhir 2018, selama setahun, KPK menangani kasus korupsi sebanyak 178 kasus. Sedangkan, ada 91 kasus yang melibatkan DPR dan DPRD.

Yang namanya korupsi ya korupsi. Bagaimana pun, yang namanya maling tetaplah maling. Kita semua benci korupsi. Apalagi yang korupsi itu yang dulu kita pernah dukung, selalu kita puja-puji. Kecewa? Jelas kecewa banget. Tapi entahlah, kenapa masyarakat terus menerus mau menerima amplop money politic, sedangkan di sisi lain, masyarakat menginginkan pemimpin yang bersih tanpa korupsi. Padahal, sejatinya, masyarakat sedikit tahu bahwa politik uang itu cikal bakal korupsi. Tapi entahlah, sepertinya masyarakat ingin kurus, tapi ogah dietnya.

Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa mengenai hukum politik uang. Menurutnya, politik uang adalah haram. Keduanya, baik yang memberi ataupun yang menerima telah melakukan perbuatan tercela. Menurut salah satu ormas terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama berpendapat bahwa politik uang itu termasuk risywah siyasah (suap politik). Larangan poiltik uang juga sudah diterangkan dalam regulasi pada UU Nomor 7 Tahun 2017 pasal 284, yang berbunyi:

“Dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk:

  1. Tidak menggunakan hak pilihnya;
  2. Menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
  3. Memilih pasangan calon tertentu;
  4. Memilih partai politik peserta pemilu tertentu; dan atau
  5. Memilih calon anggota DPD tertentu,

Dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”

Sejalan dengan itu, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Demak Kordiv Penindakan Pelanggaran, Ulin Nuha, SH., MH., pernah mengatakan, Bahwa politik uang merupakan momok dan virus demokrasi, politik uang menjadi cikal bakal korupsi. Oleh sebab itu, Bawaslu tetap bersemangat mengajak masyarakat untuk mewujudkan pemilihan umum 2019 bebas dari pengaruh politik uang, sehingga menghasilkan pemimpin yang bersih dan kompeten.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berupaya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya yang berdampak dari praktik politik uang. Selain itu, Bawaslu juga mempunyai program mendeklarasikan kampung anti politik uang di tengah masyarakat. Ini merupakan usaha Bawaslu mengajak masyarakat untuk menolak praktik politik uang  yang biasanya masif di akhir masa kampanye.  Dan semoga ada ibrah yang bisa kita petik dari pemilu ini untuk dijadikan bahan muhasabah diri kita menuju lebih baik. Khususnya, dalam pilkada serentak 2020 mendatang. Ingat, jika kita menginginkan Walikota atau Bupati yang bersih, hindari politik uang. Sebab, politik uang merupakan pintu masuk untuk menuju perbuatan korupsi. (ZAM)

Tag
Anti Money Politik
bawaslu demak
opini