Lompat ke isi utama

Berita

Bawaslu Demak: Agama Mengutuk Dan Menolak Money Politics, Ini Ancaman Sekaligus Menghancurkan Nilai-Nilai Demokrasi

DEMAK - Ketua Bawaslu Kabupaten Demak Khoirul Saleh mengatakan, Bawaslu mempunyai mandat untuk pendidikan politik di mana salah satunya mensosialisasikan kegiatan pojok pengawasan. Hal ini bagian upaya Bawaslu untuk mengedukasi kepada masyarakat. Upaya itu terus dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat.

“Ini adalah bagian dari kondisi ingin memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang pentingnya ancaman politik uang terhadap nilai-nilai demokrasi” ungkap Khoirul Saleh saat membuka acara diskusi webinar yang dilaksanakan oleh Bawaslu Kabupaten Demak, Senin (6/9/2021).

Akademisi dan tokoh agama dari Kabupaten Demak KH. Abdullah Arief Cholil mengatakan, kehidupan demokrasi membuat terbukanya untuk terlibat dalam politik praktis. Politik uang itu muncul yang mampu secara meterial, dalam Islam bisa dikenal risywah atau suap. Oleh karena itu, kata dia, ketika menghadapi persoalan ini tentunya menjadi catatan yang besar.

Akademisi dan Tokoh Agama Dr. Drs. KH. Abdullah Arief Cholil, S.H.,MA memberikan materi secara daring, Senin (6/9/2021)/foto: screenshot zoom

“Bentuk politik uang itu ada dua, pertama uang itu sendiri, kedua fasilitas. Contoh lain calon pejabat, calon legislator, calon gubernur, calon bupati ingin memberikan fasilitas kalau didukung dan saat menjadi tim sukses”, ujar Abdullah Arief Cholil dalam diskusi daring "Ancaman Politik Uang Terhadap Nilai-Nilai Demokrasi", Senin (6/9).

“Terdapat juga faktor yang mempengaruhi terjadinya politik uang, 1) Kemiskinan, 2) Buta Politik, 3) Budaya” kata Arief.

Kerena itu, menurut Arief, sama halnya membeli kedaulatan. Dia melihatkan studi yang dilakukan oleh The Latin American Publik Opiniaon Project (LAPOP), Americas Barometer, Afrobaromete : Money Politics di  Asia Tenggara menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan praktik jual beli suara.

Ia menuturkan, berdasarkan survey LIPI, 40% masyarakat Indonesia menerima uang dari peserta pemilu 2019 dan 37% mengaku menerima dan mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka, sementara di DIY, survey yang dilakukan Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menyatakan 42% masyarakat menganggap bahwa politik uang merupakan hal yang wajar, 30% merasa prihatin dan 28% menganggap sebagai masalah besar.

Sebab, adanya money politics melahirkan perilaku yang klintelisme dan patronase. Di mana kedua perilaku tersebut akan membentuk pertukaran yang sifatnya personal dan pembagian keuntungan.

Dia mengakui, kekuatan modal menjadi sebuah fenomena merebutkan kursi.

“Secara tegas Islam menolak adanya money politics, seperti hadist “Arrosyi Wal Murtasyi Fi al nari”, (Baik penyuap maupun yang disuap tempatnya di neraka). Peringatan ini memberi pelajaran bahwa penyuap maupun yang disuap kedudukannya sama, sama-sama berperilaku aib, tidak bermoral, bahkan ini termasuk kriminalitas” kata Arief.

“Agama mengutuk dan menolak money politics, suap menyuap, ini ancaman sekaligus menghancurkan nilai-nilai demokrasi serta mencederai moral” tuturnya.

Sementara Amin Wahyudi Anggota Bawaslu Demak mengatakan, politik uang itu mengarah kepada politik transaksional, artinya seseorang untuk mendapatkan kursi tertentu atau jabatan tertentu dengan imbalan tertentu karena uang itu dimaknai sebagai alat untuk transaksi, sehingga asumsinya bukan mata uang saja.

“Saya yakin kabupaten Demak bisa menolak politik uang jika dimulai dari kita bersama-sama untuk menolak dan mendorong harus ada regulasi yang tegas untuk menolak politik uang” kata Amin. (AS).

Tag
bawaslu demak
berita